Oleh: Syarifudin
A. Pendahuluan
Dalam kajian
Disertasi Husen Assagaf mengungkapkan dalam seminar Dosen Fakultas dakwah dan
Ushuluddin menjelaskan bahwa system pemerintahan negeri di maluku diwarnai oleh
Corak Islam, Portugis, dan Belanda. Misalnya system Uli, Aman, dan Soa pada
masa Islam system adat ini masih digunakan sebagai salah satu kesepakatan adat
untuk merawat, menjaga, melindungi, dan memelihara rasa persaudaraan antar nageri
dari pengaruh negative luar.
Sejak Bangsa Portugis kali pertama mendarat di Maluku,
terutama di Kerajaan Ternate pada tahun 1511, setelah mereka menguasai Kerajaan
Malaka. Kedatangan Portugis di Maluku berikutnya pada tahun 1513 bertujuan
menjalin kerja sama di bidang perdagangan, terutama rempah-rempah, dengan
Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, dan beberapa kerajaan kecil di sekitarnya.
Hubungan kerja sama di bidang perdagangan antara rakyat Maluku dengan Portugis
pada saat itu dapat berjalan dengan baik. Akan tetapi, Ternate merasa dirugikan
oleh Portugis karena keserakahannya dalam memperoleh keuntungan melalui usaha
monopoli perdagangan rempah-rempah.
Tahun 1513,
bangsa Portugis datang di Ambon dan membuat beberapa peraturan keamanan, yang
dibantu oleh sekelompok pemeluk baru agama Kristen yang berfungsi pula sebagai
penyangga, dimana mereka bermukim dan berpusat disekitar benteng tersebut, yang
kemudian menjadi kota Ambon (ibukota propinsi Maluku yang sekarang). Pada masa
portugis system ini mulai dirubah dengan tujuan merubah cara berpikir orang
negeri dalam memilih Raja atau sultan untuk memudahkan bangsa portugis
mendapatkan rempah-rempah di Maluku,
Sistem Pemerintahan Desa di Maluku pada rezim adat dikenal dengan
Pemerintah Negeri dan umumnya berlaku di Pulau Ambon dan Kabupaten Maluku
Tengah.
Pemerintah
Negeri adalah merupakan basis masyarakat adat dan memiliki batas-batas wilayah
darat dan laut yang jelas yang disebut petuanan negeri, dan sistem pemerintahan
yang bersifat geneologis atau berdasarkan garis keturunan. Pemerintahan Negeri
menurut Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah Nomor 01 Tahun 2006 Tentang
Negeri merupakan penyelenggaraan urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Negeri dan
Saniri Negeri dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
hak asal usul dan adat istiadat setempat dan diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Negeri
adat dan System Pemilihan
Sistem pemerintahan negeri adat Maluku jika dilihat dari aspek
dakwah maka ia memiliki tiga pilar utama dalam memilih standar pemimpin atau
raja, Yakni Raja adalah Imam yang bertugas sebagai pimpinan masyarakat dan
pimpinan agama. Sebagai pimpinan agama juga diberi wewenang oleh raja untuk
mengurus persoalan agama. Dalam system pemilihan organisasi raja memiliki peran
strategis dalam mewujudkan system pemerintahan yang sehat dengan 4 kriterian
karakter seorang raja yang perlu dimiliki oleh seorang raja sebagai modal
menajdi raja yang diseut dengan istila STAF (Siddieq=pejuang kejujuran dan
kebenaran), Tablik (kecerdasan melayani, menjaga, dan mengayomi rakyatnya,
Amanah= tanggungjawab(, dan Fathanah(Kecerdasan Imani, Islami, dan Irfani)
Pada rezim
adat, setiap Negeri memiliki struktur organisasi pemerintahan negeri. Susunan
pemerintahan negeri adalah warisan dari pemerintahan Belanda dimana sistem
hukum adat ini ditetapkan dalam keputusan landraad Amboina No.14 Tahun 1919;
disebutkan bahwa Pemerintah Negeri adalah regent en de kepala soas’s.
selanjutnya di dalam keputusan landaard Amboina No. 30 Tahun 1919 disebutkan
bahwa negorijbestuur adalah regent en de Kepala-Kepala Soa, yang berarti bahwa
pelaksanaan pemerintahan negeri dilaksanakan oleh Raja dan Kepala-Kepala Soa.
Adapun salah
satu struktur organisasi pemerintah negeri dari Negeri Ameth di Kecamatan
Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah dapat dilihat pada gambar 1. Pada gambar
tersebut terlihat bahwa Raja dan Kepala Soa merupakan pelaksana pemerintahan
negeri. Ini yang dikenal dengan sebutan Badan Saniri Rajapatti yang terdiri
dari Raja dan Kepala Soa. Badan ini merupakan badan eksekutif dibawah pimpinan
Raja. Raja, adalah pemegang pemerintah negeri yang bertindak juga sebagai
kepala adat dalam meimpin acara-acara adat. Raja berkewajiban untuk memelihara
hukum dan adat, kesatuan dan ketentraman negeri, melaksanakan administrasi
negeri seperti perkawinan, pembagian warisan, dan lain-lain.
Dalam
melaksanakan tugasnya ini maka Raja dibantu oleh juru tulis yang bertugas
sebagai pembantu Raja dalam melaksanakan administrasi negeri dan memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Juru Tulis berfungsi dalam melaksanakan
surat-menyurat, kearsipan dan laporan.Kepala Soa, diangkat oleh anak-anak Soa
yang bertugas membantu Raja dalam melaksanakan pemerintahan negeri apabila Raja
tidak ditempat. Kepala Soa diberi kewenangan untuk menggantikan Raja dalam
melaksanakan tugas pemerintahan negeri di dalam melayani kebutuhan-kebutuhan
masyarakat. Sebagai pemimpin dari suatu bagian di dalam negeri yang terdiri
dari beberapa marga maka Kepala Soa juga berfungsi untuk menampung dan
menyalurkan aspirasi serta pendapat masyarakat yang ada dalam wilayah kekuasaan
“Soa”nya. Kepala soa juga berperan sebagai kepala adat yang melaksanakan tugas
dari Raja untuk melangsungkan acara kawin adat khususnya dalam menerima harta
kawin yang diberikan dari mempelai pria kepada pemerintah negeri.
Di samping
Saniri Rajapati ada Saniri Negeri yang merupakan kumpulan wakil-wakil Soa yaitu
suatu kelompok masyarakat yang terdiri dari beberapa marga atau
“matarumah”(adat) yang memilih dan mengangkat salah satu anggotanya sebagai
wakil pada Saniri Negeri dan 1 orang sebagai Kepala Soa. Di dalam pelaksanaan
pemerintahan negeri, maka dikenal ada badan legislatif yang dikenal dengan
sebutan Saniri Negeri Lengkap. Saniri Negeri Lengkap terdiri dari: anggota
Saniri, para tua-tua adat dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh seperti
guru, pegawai, tokoh agama (pendeta/imam), Kewang; penjaga keamanan desa dan
pengawas hutan dan laut, Kapitan; pemimpin perang; Marinyo; orang yang
bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan keputusan pemerintah (Raja) kepada
staf pemerintah negeri maupun kepada masyarakat; Tuan Negeri sebagai pemimpin
pelaksana adat dalam negeri, dan Tuan Tanah. Tugas Saniri Negeri Lengkap adalah
menentukan kebijaksanaan dan mengeluarkan peraturan-peraturan bersama dengan
Saniri Rajapatti. Saniri Rajapatti dalam melaksanakan sesuatu hal yang penting
di negeri akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Saniri Negeri Lengkap untuk
meminta persetujuannya. Pimpinan Saniri Negeri Lengkap ini adalah Raja, namun
selain bertugas sebagai badan legislatif maka Saniri Negeri Lengkap juga
bertugas untuk memilih Raja menurut tatacara yang berlaku.
Ada badan
musyawarah negeri yang di kenal dengan sebutan Saniri Negeri Besar yang
berperan sebagai badan yudikatif. Saniri Negeri Besar bertugas menyelenggarakan
rapat lengkap yang bersifat terbuka antara Saniri Rajapatti dan Saniri Negeri
Lengkap dan semua warga masyarakat pria dewasa yang berumur 18 tahun ke atas.
Rapat ini dilaksanakan 1 tahun sekali biasanya di awal tahun atau pada akhir
tahun dan berlangsung di rumah adat yang di sebut Baileo dan dipimpin oleh
Raja.
Bila melihat
kedudukan struktur organisasi pemerintahan negeri pada Gambar 1 diatas, maka
Raja adalah merupakan orang yang pertama dan sangat memegang penting di dalam
sistem pemeritahan negeri. Raja memiliki kapasitas dan fungsi sebagai pimpinan
badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Akan tetapi dengan kapasitas dan
fungsi tersebut Raja tidak memiliki kekuasaan mutlak dalam menjalankan tugasnya
dan dalam pengambilan keputusan, Raja harus mempertimbangkan pendapat dari
badan Saniri Negeri. Lembaga-lembaga
adat yang terdapat dalam struktur Pemerintahan Negeri adat ini memiliki fungsi
dan peranan yang sangat besar terhadap kelangsungan pembangunan masyarakat.
Lembaga-lembaga adat ini sangat dihormati, dipatuhi dan dihargai oleh
masyarakat terhadap berbagai hal seperti dalam pengambilan keputusan,
penyelesaian sengketa batas tanah dan petuanan, pelantikan Raja, serta
pelaksanaan upacara-upacara adat
Sebagaimana
terjadi di wilayah dan desa lain di Indonesia, Propinsi Maluku juga mengalami
masa transisi atau perubahan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa ke Kebijakan Desentralisasi (Otonomi Daerah). Pemberlakuan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 telah melemahkan keberadaan institusi lokal. Ketika
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah diberlakukan,
maka mekanisme dan kebiasaan pemerintah dan masyarakat setempat menjadi kembali
ke sistem negeri dan adat sebagaimana sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
diberlakukan.
Secara
perlahan-perlahan kebiasaan sistem adat dan negeri dikembalikan seperti semula.
Kepala Pemerintah Negeri (baca: Raja) mulai dipilih secara demokratis. Namun,
pada umumnya posisi Kepala Pemerintah Negeri yang berlaku secara turun-temurun
nampaknya lebih disukai oleh masyarakat negeri untuk menjadi figur atau
pemimpin mereka. Dengan kata lain posisi Kepala Pemerintah Negeri yang
turun-tumurun ini lebih memberikan legitimasi dari pada pemilihan Kepala
Pemerintah Negeri secara demokratis. Proses pengembalian sistem negeri ini di
beberapa tempat sempat menjadi persoalan. Misalnya hal ini menyebabkan
terjadinya perseteruan untuk menjadi Kepala Pemerintah Negeri yang sekaligus
berperan sebagai kepala desa.
Dalam
konteks Maluku, Kepala Pemerintah Negeri berkedudukan sama dengan kepala desa,
seorang Kepala Pemerintah Negeri dapat menduduki posisinya baik karena garis
keturunan maupun karena dipilih secara demokratis. Dalam pelantikan untuk
posisinya sebagai Kepala Pemerintah Negeri, kerapkali seorang Kepala Pemerintah
Negeri harus mengalami dua kali pelantikan guna memperoleh legitimasi baik
sebagai kepala pemerintah negeri maupun sebagai kepala pemerintahan
administratif setempat.
Seperti
halnya di desa-desa adat lainnya di Maluku, peran Soa Parentah mempunyai andil
besar dalam penentuan bakal calon Kepala Pemerintah Negeri yang berhak
mengikuti pemilihan. Pengajuan bakal calon yang diajukan oleh Soa Parentah
menjadi bukti bahwa peran Soa Parentah didalam penyelenggaraan pemilihan Kepala
Pemerintah Negeri. Hal ini merupakan ketentuan hukum adat yang sudah berlaku
sejak negeri itu ada.
Kepala
Pemerintah Negeri yang telah menjalani masa pemerintahan pada prinsipnya secara
langsung akan masuk didalam Soa Parentah dan tentunya mempunyai hak didalam
menentukan bakal calon yang akan mengikuti pemilihan Kepala Pemerintah Negeri
setelah lolos dari seleksi atau pembahasan di tingkat Saniri Negeri.
Diakui bahwa
hukum adat sampai saat ini masih hidup dan berkembang di Maluku. Artinya
masyarakat masih mengakui dan menghargai hukum adat sebagai hukum yang mengatur
tatanan kehidupan mereka, walaupun patut diakui telah menjadi perubahan atau
telah mengalami pergeseran akibat arus globalisasi dan modernisasi. Sebutan
terhadap desa-desa adat di Maluku adalah Negeri dan sebutan untuk Kepala
Pemerintah Negeri adalah Raja atau disebut dengan nama lain sesuai adat
istiadat, hukum adat dan budaya setempat. Kepala Pemerintah Negeri dibantu oleh
perangkat Pemerintah Negeri lainnya seperti Juru Tulis/Sekretaris Negeri dan
Kepala Soa sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan Negeri.
Seorang
Kepala Pemrerintahan Negeri (Raja) hampir dipastikan berasal dari garis
keturunan Raja pula. Tradisi ini dimulai dari zaman kolonial Belanda, bahkan
mungkin di jaman-jaman sebelumnya. Sistem keturunan tersebut berlanjut walaupun
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 (Pemerintahan Desa) berlaku di masa orde lama.
Sekarang ini dalam pemilihan kepala pemerintah negeri, masyarakat umumnya masih
mendukung calon dari keturunan keluarga Raja. Fenomena ini adalah karena faktor
tradisi dan adat yang masih cukup dihormati oleh masyarakat. [1]
Untuk menjamin kepastian hukum, prinsip demokratisasi yang
disesuaikan dengan nilai-nilai hukum adat, tradisi dan budaya yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat maka, Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah
menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pencalonan,
Pemilihan dan Pelantikan Kepala Pemerintah Negeri dan Peraturan Daerah Nomor 07
Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian
Perangkat Negeri. [2]
Sistem pemilihan Kepala Pemerintah Negeri di Kabupaten Maluku
Tengah menggunakan mekanisme dipilih secara langsung oleh penduduk negeri
terhadap calon yang telah memenuhi persyaratan (Pasal 6 ayat 1 Perda Nomor 03
Taun 2006) Pemilihan kepala pemerintah negeri bersifat langsung, umum, bebas,
rahasia dan adil (Pasal 6 ayat 2). Pemilihan Kepala Pemerintah Negeri
dilaksanakan melalui beberapa tahap yaitu, penjaringan, penyaringan, penetapan
calon, penetapan tanda gambar, kampanye, pemilihan/pemungutan suara dan
penetapan calon terpilih (Pasal 7). Ini berarti bahwa sistem pemilihan yang
diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2006 telah memenuhi unsur-unsur dan
prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia.
Untuk menyelenggarakan pemilihan kepala pemerintah negeri, Badan
Saniri Negeri membentuk Panitia Pemilihan. Saniri Negeri adalah Lembaga/Badan
yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negeri
dan sebagai unsur penyelenggara pemerintah negeri, berfungsi sebagai badan
legislatif yang bersama-sama kepala pemerintahan negeri membentuk peraturan
negeri, mengawasi pelaksanaan tugas dari kepala pemerintah negeri serta
merupakan badan yang mendampingi kepala pemerinta negeri dalam memimpin negeri
sesuai tugas dan wewenang yang dimilikinya.
Jabatan Kepala Pemerintah Negeri merupakan hak dari
matarumah/keturunan tertentu untuk menentukan berdasarkan musyawarah
matarumah/keturunan. Kekhususan berdasarkan adat istiadat dan hukum adat dimana
hak untuk menjadi Kepala Pemerintah Negeri merupakan hak dari
matarumah/keturunan tertentu yang harus dijunjung tinggi dalam kaitan dengan
pengakuan eksistensi Masyarakat Hukum Adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18
UUD 1945 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Akan tetapi realita dalam masyarakat hukum adat di Kabupaten Maluku Tengah
menunjukan adanya pengakuan matarumah/keturunan yang berhak menjadi Kepala
Pemerintah Negeri Lebih dari satu. Oleh karena itu khusus pada negeri yang
dimana matarumah/keturunan yang berhak menjadi Kepala Pemerintah Negeri itu
tunggal (hanya satu) maka hasil musyawarah matarumah/keturunan dapat ditetapkan
menjadi Kepala Pemerintah Negeri oleh Saniri Negeri.
Ruang demokrasi dimana rakyat berhak menentukan Kepala Pemerintah
Negerinya terbuka melalui pemilihan, apabila matarumah/keturunan yang berhak
menjadi Kepala Pemerintah Negeri merupakan matarumah/keturunan yang lebih dari
satu berdasarkan hasil musyawarah matarumah/keturunan sesuai Peraturan yang
berlaku. Prosesi pelantikan Kepala Pemerintah Negeri menjadi urgen dalam
konteks menghidupkan adat istiadat dari Negeri maupun dalam konteks pendidikan,
pewarisan nilai-nilai adat istiadat dan hukum adat serta pariwisata, maka
prosesi pelantikan kepala pemerintah negeri itu dilakukan. Oleh karena itu,
musyawarah matarumah/keturunan dan pemilihan kepala Pemerintah Negeri perlu
dilakukan dan perlu ditetapkan dalam Peraturan Negeri.
Sistem pemilihan kepala pemerintah negeri secara langsung
merupakan langkah politik yang sangat strategis untuk mendapatkan legitimasi
politik dari rakyat dalam kerangka kepemimpinan kepala pemerintahan negeri.
Legitimasi adalah komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai dan nerma-norma yang
berdimensi hukum, moral dan sosial. Jelasnya, seorang kepala pemerintah negeri
yang terpilih dengan prosedur dan tata cara yang sesuai dengan peraturan yang
berlaku dengan tetap memperhatikan kekhasan dari masing-masing daerah, melalui
preses kampanye dan pemilihan yang
bebas, fair dan adil sesuai dengan norma-norma sosial dan etika politik,
didukung oleh suara terbanyak dari seluruh pemilih secara objektif, dan
menjalankan tugas dan fungsi kepala pemerintahan negeri sesuai dengan komitmen
dalam proses kampanye dan pemilihan.[3]
[1]Eric Stenly Holle, Sistem Pengangkatan Dan
Pemilihan Kepala Pemerintah Negeri Di Maluku Tengah (Kajian Dari Perspektif
Pembangunan Demokrasi di Indonesia).
[2]Eric Stenly Holle, Sistem Pengangkatan Dan
Pemilihan Kepala Pemerintah Negeri Di Maluku Tengah (Kajian Dari Perspektif
Pembangunan Demokrasi di Indonesia).
[3]Eric Stenly Holle, Sistem Pengangkatan Dan
Pemilihan Kepala Pemerintah Negeri Di Maluku Tengah (Kajian Dari Perspektif
Pembangunan Demokrasi di Indonesia).